Tidak terlarang kita mendalami ilmu agama dengan mutholaah,
menelaah kitab baik yang berbahasa Arab, terjemahan atau melalui media
internet. Namun sebaiknya kita mempunyai seorang guru yang sanad ilmu (sanad
guru) tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tempat kita
bertalaqqi (mengaji) dan tempat kita bertanya terhadap apa yang kita baca.
Orang yang
berguru tidak kepada guru tapi kepada buku atau internet maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa
menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku
jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut
akal pikirannya sendiri.
Belajar Ilmu Agama Melalui Internet
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan
akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat
kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir
al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab
saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam
majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama
tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak,
bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif
(lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya
adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung
dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini”
(Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Ilmu agama adalah
ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun
satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu
tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka
bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang
kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna
hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh
dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun
yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama
adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang
sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam
bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh
dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian
integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak
zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu,
beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau
menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita
telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan
kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu
sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun
lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan
otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya,
Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia
adalah ucapan dan sebutan.
Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran
dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan,
bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an
adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah
hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’.
Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun
pemahamannya haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya).
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Berkata Al-Kholil bin Ahmad,
“Orang-orang itu ada empat macam:
1. Seorang yang
mengetahui dan tidak mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang
lalai maka ingatkalah ia
2. Dan seorang
yang tidak tahu dan ia mengetahui bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang
jahil (bodoh) maka ajarilah ia.
3. Dan seorang
yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang pandai
maka ikutilah.
4. Dan seorang
yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, dan dia mengajarkan
orang, itulah orang tolol maka jauhilah dia” (Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam
Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828)
Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam belajar
agama di internet ini,
1. Bahaya Dengan adanya sumber yang berlimpah, maka orang merasa sudah tahu, dan merasa tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada orang yang lebih tahu. Padahal seringkali apa yang kita baca di internet tidak sepenuhnya kita pahami sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya. Dan Pembaca juga gak tau SIAPA SI PENULIS. Terutama jika situasi dan kondisi penulis tidak sama dengan situasi dan kondisi pembaca. Seperti Qur’an yang terkadang hanya bisa dipahami dari asbabun nuzulnya, bukan hanya dari apa yang tertulis saja.
2. Merasa tidak
perlu menuntut Ilmu kepada Ulama. Ini juga menjadi penyakit yang sangat parah.
Bersilaturrahiim kepada ulama tidak bisa digantikan dengan baca-baca buku dan
browsing internet. Pahala duduk dalam majelis ilmu, fadhilah memandang wajah
ulama, keutamaan duduk dalam majelis-majelis dzikir, manfaat mendengar bayan dan
penjelasan ulama, jelas tidak bisa didapat dengan duduk berlama-lama memencet
tuts keyboard dan meng-klik mouse. Dan, menghadiri majlis Ilmu ini bukan hanya
sekedar saat kita ingin bertanya tentang masalah hukum agama saja.
Silaturrahiim kepada ulama ini memang banyak fadhilahnya. Dan untuk menanyakan
persoalanpun, sebenarnya tidak sopan kalau cuma sms-an, tapi akan lebih
ber-adab jika berkunjung dan meminta nasehat langsung. Tentu saja, untuk
saat-saat darurat, tidak mengapa jika
terpaksa menelepon atau kirim sms…
3. Internet tidak
pandai memilah-milah karena Internet juga gak ada gurunya, makanya yang belajar
via Internet atau buku itu sesat menyesatkan) mana yang penting dan mana yang
tidak. Karena internet tidak pandai/tidak ada gurunya, lalu kemudian kita
sendiri yang memilah-milah, bahan dan apa yang akan kita baca. Dan kemudian
kita memilah-milah berdasarkan apa yang terjadi dan kita hadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Masalahnya adalah, terkadang, perkara yang amat penting itu tidak
kita jumpai (baca: tidak kita rasakan) dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu
ada. Akhirnya terkadang kita jadi sibuk dengan membahas perkara2 yang
sebenarnya biasa-biasa saja dan melupakan perkara-perkara lain yang lebih
penting, karena hasil googling “I’m Feeling LuckyTM” membawa kita kesana.
4. Internet itu
rimba belantara. Tidak ada sesiapapun yang mengontrol benar dan salah di
internet. Sebagaimana di hutan dimana yang menjadi raja adalah yang paling
kuat, di belantara internet, yang menjadi raja adalah yang paling tinggi
rangking google rank-nya. Kalau dalam dunia bisnis dan dunia eknomi yang memang
sehari-hari berkutat dengan internet sih tidak masalah. Karena pada saat itu,
benar dan salah jadi tidak ada, yang ada hanya request and demand.
Tapi dalam hal agama, dimana ulama-ulama hakiki (ulama yang
sesungguhnya) sedang sibuk dengan dzikir, muroqobah, dan murajaah, maka
orang-orang yang merasa tahu menuliskan apa yang mereka rasa tahu dan dibaca
oleh orang yang sama-sama tidak tahu, dan… begitulah. Mudahnya fasilitas
forward dan copy paste juga membuat sebuah pendapat yang sebenarnya belum tentu
benar, jadi terlihat benar karena ada dimana-mana.
MENGAPA BELAJAR PERLU GURU ?
MANFAAT BERGURU adalah agar terhindar dari perkara-perkara
yang SESAT & untuk mnghindari FITNAH.
Adapun fungsi GURU atau SANAD (sandaran) adalah mencegah
manusia untuk berbicara semaunya /seenak Gue, atau bicara hanya berdasarkan
dari kerangka otaknya doang.
DENGAN SANAD, maka Hal-hal yang diajarkan Rosululloh,
terjaga keaslian isi ilmunya, tanpa ada yang dikurangi atau di tambah-tambah
(DI MODIFIKASI MANUSIA).
Kata Al-Imam Ali Zainal Abidin
“laula isnada ma qola sa’a ma sa’a”= jika tanpa isnad memang
orang bisa berkata apa saja yang dikehendakinya. )
Belum ada dalam sejarah seorang ulama besar lahir dari
belajar kepada buku atau dari internet. Yang Ada Qulama (Sesat jadi ulama)
Ilmu adalah keahlian dan setiap keahlian membutuhkan
ahlinya, maka untuk mempelajarinya membutuhkan muallimnya yang ahli (guru
pembimbing).
Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid berkata, “Ini hampir menjadi
titik kesepakatan di antara para ulama kecuali yang menyimpang.” Ada ungkapan,
“Barangsiapa masuk ke dalam ilmu sendirian maka dia keluar sendirian.”
Syaikh Bakr
berkata, “Maksudnya barangsiapa masuk ke dalam ilmu tanpa syaikh maka dia
keluar darinya tanpa ilmu, hanya mendapatkan kesesatan.”
Syaikh Bakr menukil ucapan ash-Shafadi, “Jangan mengambil ilmu dari shahafi (ahli tajwid) dan jangan pula dari mushafi (org yg berpendat menurut dirinya sendiri), lalu Syaikh Bakr berkata, “Yakni jangan pelajari al-Qur`an kepada orang yang ahli membaca tapi pelajari dari Ahli ilmu (Ulama) dan jangan membaca hadits dan lainnya dari orang yang mengambilnya dari buku.”
Sebagian ulama berkata,
“Barangsiapa
tidak mengambil dasar ilmu dari ulama, maka keyakinannya dalam perkara adalah
TERTOLAK”
Abu Hayyan berkata,
“Anak muda
mengira bahwa buku membimbing orang yang mau memahami untuk mendapatkan ilmu”
“Orang
bodoh tidak mengetahui bahwa di dalamnya terdapat kesulitan yang membingungkan
akal orang”
“Jika kamu
menginginkan ilmu tanpa syaikh, niscaya kamu tersesat dari jalan yang lurus”
“Perkara-perkara menjadi rancu atasmu sehingga kamu kebih tersesat daripada Tuma al-Hakim Alfaqier yakin masih banyak nomor alasan lain akan bahaya ilmu tanpa guru.”
Allah menuntut kita agar mencari ilmu dengan sanad
Begitu banyak aliran dan sekte dalam Islam sebagaimana kita telah ketahui Khobar dari Nabi Saw tentang pecahnya umat muslim menjadi 73 golongan dan kesmuanya sesat kecuali satu golongan yaitu Ahlus sunnah waljama’ah.
Nabi Saw bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت
النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في
النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا
عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه
“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah
menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk
neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai
Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan
para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Dalam hadits yang lain :
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ
أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ
الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al- Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
======================================================================
Kali ini saya tidak membahas tentang golongan selamat /
Al-Firqah Najiah tersebut, namun saya akan sedikit membahas tentang pentingnya
Sanad karena ini sangat terkait sekali dengan eksitensi Al-Firqah Najiah
tersebut.
Salah satu keitimewaan Islam di antaranya adalah terjaganya
keorisinilan Al-Quran dengan melalui periwayatan yang sambung menyambung hingga
ke Rasulullah Saw. Dari sejak masa Nabi Saw, hingga terus dari masa ke masa,
ayat-ayat Al-Quran terus di bawa oleh para huffadznya yang memiliki sifat ‘adalah
(jujur, terpercaya, kuat hafalan dan tak pernah melakukan dosa besar) dan
mencapai derajat mutawatit dan tak ada jedah atau masa terputusnya.
Dan ini sudah janji Allah Swt dalam Al-Quran :
“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an),
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr [15]:9)
Sangat berbeda
dengan kitab-kitab lainnya contohnya kitab Injil, dari sejak masa Nabi Isa As
hingga saat ini, kitab Injil pernah mengalami masa vakum (jedah waktu) sampai
seratus tahun, sehingga banyak kemungkinan di dalam masa terhentinya
periwayatan tersebut ada tindakan tahrif atau distorsi sebagaimana Allah
sendiri telah menyinggunya dalam Al-Quran :
“Mereka
(Ahli Kitab) suka mengubah kalimat-kalimat Allah daripada tempat-tempatnya dan
mereka itu (sengaja) melupakan perkara-perkara yang telah diperingatkan
(dinasihatkan) kepada mereka…” (Qs. Al-Ma’idah 13)
Demikian juga
Hadits-hadits Nabi Saw, di dalam menjaga kemurnian dan keotientikannya, maka
disyaratkan memiliki persyaratan-persyaratan yang kuat yang tidak mungkin
terjadinya distorsi atau pemalsuan di antaranya sanad yang bersambung
periwayatnnya kepada Nabi Saw. Sebagaimana telah disebutkan di dalam
kitab-kitab mustholah al-Hadits.
========================================================================
Maka sanad atau isnad merupakan bagian terpenting dalam
agama Islam. Kemurnian ajaran agama Islam dapat terjaga melalui sanad keilmuan
dari seorang guru ke guru, dan munculnya faham-faham menyimpang yang dapat
menyesatkan umat Islam sangat kecil kemungkinannya untuk tidak terdeteksi. Dan
sanad atau Isnad inilah yang tidak dimiliki selain Ahlus sunnah waljama’ah.
Abdullah bin Mubarak, salah satu murid Imam Malik berkata :
الاسناد من الدين ولولا الاسناد لقال
من شاء ماشاء
“ Isnad /sanad merupakan bagian dari agama, dan apabila
tidak ada sanad maka orang akan seenaknya mengatakan apa yang ingin ia katakana
“.
Sufyan Ats-Tsauri berkata :
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه
سلاح فبأي سلاح يقاتل
“ Sanad / isnad adalah senjata orang mukmin, jika ia tdk
memiliki senjata maka dengan apa ia berperang ? “
Al-Qodhi Abu Bakar Al-Arabi berkata di dalam kitabnya
Siroojul muridin hal : 80 :
والله أكرم هذه الأمة بالإسناد، لم
يعطه أحد غيرها، فاحذروا أن تسلكوا مسلك اليهود والنصارى فتحدثوا بغير إسناد
فتكونوا سالبين نعمة الله عن أنفسكم، مطرقين للتهمة إليكم، وخافضين المنزلتكم،
ومشتركين مع قوم لعنهم الله وغضب عليهم، وراكبين لسنتهم.
“ Allah memuliakan umat ini dengan isnad yg tdk diberikan
pada selain umat ini. Maka berhati-hatilahkalian dari mengikuti jalan Yahudi
dan Nashoro shingga kalian berbicara (tentang ilmu) tanpa sanad maka kalian
menjadi orang yang mencabut nikmat Allah dr diri kalian, menyodorkan
kecurigaan, merendahkan kedudukan dan bersekutu pd kaum yang Allah laknat dan
murkai “
Imam Syafi’I juga berkata :
“Yang
mencari ilmu tanpa sanad adalah bagaikan pencari kayu bakar dimalam hari yang
gelap dan membawa pengikat kayu bakar yang padanya ular berbisa yang mematikan
dan ia tak mengetahuinya”.
Dan jika kita tilik dalam al-Quran, terdapat pula ayat yang
menjelaskan urgensitas sanad bagi orang-orang belakangan. Allah Swt berfirman :
قل أرأيتم ما تدعون من دون الله أروني
ماذا خلقوا من الأرض أم لهم شرك في السماوات ائتوني بكتاب من قبل هذا أو أثارة من
علم إن كنتم صادقين
“ Katakanlah! Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
sembah selain Allah Swt; perlihatkanlah pada-Ku pakah yang telah mereka
ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat dalam penciptaab langit ?
bawalah pada-Ku kitab yang sebelum al-Quran ini atau Peninggalan (dengan sanad
yang shahih) dari pengetahuan (orang-orang terdahulu), jika kamu adalah
orang-orang benar !” (QS,al-Ahqaf :4)
Perhatikan :
Kalimat او اثارة من علم oleh al-Laits as-Samarqandi ulama ahli tafsir, menafsirtkannyadengan
periwayatan dari para Nabi dan ulama. Selaras dengan Mujahid yang
menafsirinya dengan periwayatan dari orang-orang sebelumnya :
وقال مجاهد : رواية تأثرونها عمن كان
قبلكم
Bahkan imam
Qurthubi dalam tafsirnya juga menafsirkan dengan suatu pengetahuan yang dikutip
dari kitab orang-orang terdahulu dengan sanad yang shahih sampai kepada mereka
secara mendengarkan langsung :
ثم قال : ائتوني بكتاب من قبل هذا فيه
بيان أدلة السمع أو أثارة من علم
=========================================================================
Sanad atau Isnad terbagi menjadi dua :
1. Sanad Periwayatan
Keberadaan sanad periwayatan ini berfungsi memfiltter
pemalsuan Hadits yang dinisbatkan pada Rasul Saw, sebagaimana telah
diperingatkan beliau dalam sebuah haditsnya :
من يقل علي مالم اقل فليتبواء مقعده من
النار
“ Siapa
saja yang mengatakan suatu perkataan dan menisbatkannya padaku sesuatu yang
tidak pernah aku katakana, maka hendaklah ia duduk di neraka “ ( HR. Bukhari)
Para ulama sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan
menisbatkan suatu hadits pada Rasulullah Saw. Mereka akan meneliti terlebih
dahulu para rawi se atasnya, apakah sanad mereka tersambungkan kepada Rasul Saw
atau tidak. Sehingga kemudian muncul istilah Hadits dha’if, hasan dan hadits
shahih, serta semisalnya yang terdapat dalam disiplin ilmu Musthalahah
al-Hadits.
Dalam periwayatan hadits ini diketahui bahwa para perawi
meriwayatkannyadari Rasulullah Saw. Lalu perawi di bawahnya mengambil hadits
tersebut darinya, dan begitu seterusnya sampai hadits itu sampai pada imam
Bukhari semisal. Kemudian beliau mengumulkan hadits-hadits yang diterima dari
rawi se atasnya dalam sebuah kitab yang pada akhirnya kitab imam Bukhari
tersebut sampai pada kita.
2. Sanad keilmuan
Para ulama di antaranya imam Malik bin Anas, Ibnu Sirin dan
selain keduanya :
إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذوا
دينكم
“ Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah
dari siapa kamu mengambil agamamau / ilmumu “.
Ibnu Arabi berkata :
فما زال السلف يزكون بعضهم بعضا و
يتوارثون التزكيات خلفا عن سلف ، و كان علماؤنا لا يأخذون العلم إلا ممن زكي وأخذ
الإجازة منأشياخه
“ Para
ulama salaf selalu memuji satu sama lainnya, dan terus terwariskan dari
generasi ke generasi, dan demikian para ulama kita, tidak mengambil ilmu
terkecuali dari orang yang bersih dan mengambil ijazah dari para gurunya “.
Syaikh Abdul
Qodir al-Jazairi berkata “ Seseorang tidak dibenarkan menisbatkan keterangan
yang ada di dalam sebuah kitab pada pengarangnya tanpa mempunyai sanad “.
Para ulama menjadikan keberadaan sanad sebagai syarat
seseorang bisa mengamalkan keterangan atau pendapat yang terdapat dalam
berbagai kitab dan menggunakannya sebagai hujjah. Karena sanad keilmuan atau
periwayatan kitab tidak ubahnya seperti periwayatan hadits.
Munculnya banyak paham-paham menyimpang dan sesat,
kebanyakan ditimbulkan karena tidak memperhatikannya masalah sanad ini.
Sehingga kadang kita ketahui, ada seseorang yang belajar dari sebuah buku
terjemahan saja atau mungkin dari sebuah situs di internet yang tidak jelas,
kemudian orang tersebut memamahaminya dengan pemikirannya yang tidak sesuai
dengan maksud sebenarnya atau kadang slah paham dengan maknanya. Maka jadilah
pemahamnnya tersbut telah menyesatkan dirinya dan bahkan orang lain.
Maka sebagaimana
telah menjadi keharusan dalam periwayatan hadits sebagai bukti
keautentikannyadan telh menjadi sunnah sahabat, tabi’in serta salaf shalih, ia
menjadi keharusan pula bagi orang yang meriwayatkan keterangan para ulama dari
kitab-kitab mereka.
========================================================================
Cara medapatkan sanad keilmuan atau periwayatan kitab.
Untuk mendapatkan sanad keilmuan atau periwayatan kitab,
sebagaimana dalam periwayatan hadits terdapat metode antara lain :
Pertama : Sima’, yaitu mendengarkan bacaan guru atas kitab
yang diriwayatkan.
Kedua : Qiraah, yaitu membaca kitab tersebut dan didengarkan
langsung oleh seseorang guru.
Kedua metode ini disebut dengan metode Talaqqi.
Ketiga : Ijazah, yaitu idzin seseorang guru untuk
meriwayatkan kitab tersebut.
Generasi muslim periode awal merupakan generasi yang sangat
memperhatikan masalah periwayatan. Perhatian mereka dalam masalah ini begitu
besar baik periwayatan al-Quran dan metode bacaannya, periwayatan hadits,
fiqih, nahwu maupun berbagai disiplin ilmu lainnya. Hal ini tampak jelas dalam
kitab karangan mereka
Tidak ada komentar:
Write komentar